Tanggal 20 Oktober 2015 menjadi salah satu hari yang perlu dicatat dalam kehidupan saya. Pada hari itu saya akhirnya menjalani operasi varikokel di Rumah Sakit Umum Dharma Yadnya. Sebenarnya ceritanya cukup panjang hingga akhirnya saya menjalani operasi varikokel ini, tapi saya akan mencoba membuatnya secara singkat disini.
Dimulai dari kelahiran anak pertama kami, Nindi, tahun 2010, saya dan istri sepakat untuk menjaga jarak kelahiran dengan anak kedua. Jadi kami tidak buru-buru merencanakan kehamilan lagi. Untuk menunda kehamilan yang kedua, kami tidak menggunakan suntikan ataupun pil, hanya dengan alat kontrasepsi alias kondom saja. Saya pikir cukup aman dan kalaupun kebobolan rasanya tidak terlalu masalah karena baru memiliki satu anak. Selama kurang lebih 3 tahun kami menggunakan cara itu. Hingga akhirnya kami merasa jarak sudah cukup aman dan tiba waktunya merencanakan anak kedua.
Karena anak pertama kami perempuan, tentu saja kami ingin anak yang kedua laki-laki. Sekitar awal tahun 2013 saya dan istri mencoba ke dokter kandungan (yang praktek di apotik tempat istri saya bekerja sebagai apoteker, bukan di dokter kandungan yang menangani anak pertama saya) dan mencoba konsultasi untuk program anak kedua. Kami pun disarankan beberapa cara serta tips untuk memperbesar peluang anak kedua nantinya laki-laki. Sekitar 3-4 bulan mencoba, istri saya belum hamil.
Karena belum ada hasil, dokter kandungan tersebut menyarankan agar saya cek sperma. Kebetulan di tempat istri saya bekerja itu juga ada lab, jadi kami diberikan surat pengantar. Singkat cerita, hasil tes sperma kami bawa lagi ke dokter kandungan itu, dan hasilnya semua normal. Kami pun mencoba melanjutkan program beberapa bulan lagi dan belum berhasil juga.
Sekitar bulan Oktober 2013 (saya lupa tepatnya bulan apa), kami memutuskan untuk coba konsultasi ke dokter yang menangani kehamilan anak pertama kami. Saat kontrol kedua kalinya, istri saya diperiksa dan ditemukan ada benjolan (kalau tidak salah namanya polip). Benjolan itu kalau tersentuh langsung berdarah, dan memang seringkali istri saya mengaku ada bercak darah setelah berhubungan. Dokter mengatakan, ada kemungkinan itu menjadi penyebab sulit hamil, dan kalaupun bisa hamil tetap saja benjolan itu cukup berbahaya. Saran dokter, istri saya harus dikuret.
Kami cukup syok, khususnya istri saya, apalagi membayangkan proses kuret itu seperti apa. Beberapa hari kami berpikir, saya berhasil meyakinkan istri bahwa ini mungkin jalan terbaik yang bisa kami tempuh. Toh ini sudah atas saran dokter dan hasil pemeriksaan medis. Tanggal 20 Desember 2013 istri saya pun dikuret, proses kuretnya tidak lama, kalau tidak salah hanya sekitar 10 menit. Istri saya dibius total, jadi setelah dikuret istri saya perlu beberapa jam untuk sadar penuh. Setelah dikuret, istri saya diijinkan pulang, tapi dirumah harus istirahat beberapa hari karena kondisi setelah dikuret itu mirip seperti setelah melahirkan anak secara normal.
Singkat cerita, perjuangan cukup berat bagi istri saya pun terlewati. Dokter menyampaikan bahwa sebaiknya kami tidak berhubungan badan dulu sekitar 3 bulan, sampai kondisi istri saya benar-benar siap. Bulan Februari 2014, setelah dokter menyampaikan boleh, kami pun program hamil lagi. Tapi ternyata beberapa bulan belum ada hasil juga. Dan kebetulan istri saya mendapat fasilitas vaksin kanker serviks gratis dari kantornya dimana konon saat mendapat vaksin itu istri saya tidak boleh hamil dulu. Proses vaksin itu berjalan kalau tidak salah sekitar 8 bulan. Jadi ya kami kembali lagi menggunakan kondom.
Singkat cerita lagi, akhir tahun 2014 proses vaksin selesai. Tapi istri saya mulai lelah berurusan dengan dokter, kami mulai kehilangan keyakinan. Jadi sementara beberapa bulan kami rileks saja dulu, mencoba enjoy tanpa memikirkan program. Kami pikir mungkin selama ini kami beban dengan jadwal berhubungan sehingga malah membuat kami tertekan. Tapi setelah beberapa bulan mencoba sendiri juga tidak ada hasil. Saya dan istri kemudian berpikir, setelah menimbang-nimbang, kami memutuskan untuk tetap mengutamakan medis, sambil tetap berdoa kepada Tuhan memohon agar diberikan jalan yang terbaik.
Bulan Maret 2015, saya dan istri sepakat menyerahkan semua kepada dokter, prinsipnya kami tidak akan menyerah sebelum dokter menyerah. Jadi kami berdua kembali ke dokter yang menangani kehamilan pertama istri saya. Kami tidak mau ke dokter lain karena saya pikir sama saja, apalagi rasanya kami sudah sreg dengan dokter yang ini.
Bulan Maret, April, Mei dan seterusnya, dokter memberikan jadwal, obat dan memeriksa semua. Dokter bilang secara seharusnya sudah bisa hamil, hanya menunggu ijin Tuhan. Sempat dokter menanyakan saya apakah sudah pernah cek sperma, saya bilang sudah dan hasilnya normal. Jadi dokter tidak memeriksa saya lagi. Hingga sampai bulan September 2015, karena mungkin sudah mencoba dengan maksimal dan belum ada hasil, dokter kembali menanyakan saya tentang cek sperma. Saya kembali bilang dulu sih pernah dan hasilnya normal, tapi saya bilang saya siap kalau perlu di cek lagi.
Akhirnya dokter pun menyarankan saya untuk cek lagi dan diberikan surat pengantar. Tapi dokter mengatakan sebaiknya cek di Prodia agar hasilnya lebih akurat. Sesuai surat pengantar, kami pun ke Prodia, jangan ditanya bagaimana prosedur dan teknis pengambilan sampel spermanya, hehehe. Sambil menunggu hasil keesokan harinya, saya sudah sangat siap mental. Apapun hasilnya nanti, akan kami serahkan ke dokter.
Besoknya kami ambil hasil cek sperma di Prodia. Seharusnya hasil lab itu dibaca oleh dokter, tapi saya penasaran dan amplopnya saya buka sendiri malam itu. Dengan kacamata awam saya baca, semua tampak normal, kecuali di halaman kedua di baris terakhir, ada tulisan “Kesimpulan : Terato-zoospermia“. Tentu saya tidak tahu apa artinya, dan langsung googling.
Saya baca semua hasil googling tentang Terato-zoospermia dan hati saya mulai goyah serta hampir menyerah. Saya juga hampir tidak percaya bahwa saya mengalami Terato-zoospermia. Pada intinya, dengan kondisi ini sangat sulit bagi saya membuat istri hamil. Tapi untunglah istri saya bisa bersikap dengan bijak dan tetap membuat saya tenang. Walau begitu, sempat saya berpikir untuk berhenti sampai disitu, alias menyerah, karena membaca hasil googling yang sepertinya sebagian besar mengarah ke bayi tabung dan sejenisnya.
Beberapa hari kemudian, dengan pesimis, tapi kami tetap kembali ke dokter membawa hasil lab tersebut. Dokter pun menyampaikan memang kendala sulit hamil selama ini ada di saya (suami). Satu-satunya hal yang membuat saya senang adalah penyebabnya sudah ketahuan. Sekarang tinggal bagaimana mencari jalan keluarnya. Dokter pun sempat memeriksa testis saya dan mengatakan kemungkinan besar saya mengalami varikokel. Saran dokter sebaiknya dioperasi, tapi dokter menanyakan apakah saya mau coba pakai obat dulu. Saya jawab terserah dokter saja. Saya kemudian diberi obat (kalau tidak salah namanya Torex), yang jelas harganya sangat mahal bagi saya, sekitar 1,3 juta untuk dua bulan dan diminum tiga kali sehari.
Tetap dengan rasa pesimis, saya coba ikuti saran dokter dengan minum obat itu, tapi kadang lupa juga. Bulan pertama setelah minum obat itu hasilnya tetap gagal. Saya kemudian menyerah, saya pikir kami pasti gagal, tapi saya tetap minum obat itu dan berhubungan seperti biasa di bulan kedua. Saya sempat curhat ke seorang dokter yang juga blogger tentang kondisi saya, sempat juga saya menanyakan tentang bayi tabung. Dia pun menyarankan kepada saya agar jangan buru-buru dulu, lebih baik telusuri dulu penyebab varikokel yang saya alami, serta solusinya. Dia kemudian menyarankan saya konsultasi ke dokter spesialis urologi, salah satunya dokter GWK.
Setelah disarankan begitu, entah mengapa rasa optimis saya mendadak meningkat, saya merasa senang karena sepertinya menemukan jalan. Apalagi ternyata dokter GWK yang dimaksud adalah dokter yang pernah menangani saya ketika mengalami batu ginjal kemudian dioperasi URS dan ESWL dulu. Sebenarnya sih di bulan kedua setelah minum obat yang diberi oleh dokter kandungan itu seharusnya saya kembali konsul kesana, tapi saya ambil jalan pintas dengan langsung datang ke dokter spesialis urologi yaitu dokter GWK.
Sampai di dokter GWK, saya diperiksa lebih detail dan memang mengalami varikokel, yang kanan grade 3 dan yang kiri grade 2. Dokternya bilang solusinya adalah dioperasi dengan peluang bisa hamil 50-60%. Jika tidak, bisa dengan menggunakan obat tapi peluanya cuma 20%. Saya disuruh pulang untuk berpikir dulu dan diresepkan obat. Ternyata obat yang dikasi sama dengan obat yang diberikan oleh dokter kandungan. Jadi obatnya tidak kami ambil karena stok dirumah juga masih banyak.
Singkat cerita, saya pun memutuskan untuk operasi. Saya hanya beritahu orang-orang terdekat yaitu orang tua saya dan mertua serta kedua saudara saya. Saya lalu menghubungi dokter dan mengatakan bersedia untuk dioperasi. Karena kebetulan dokternya sedang keluar negeri jadi saya harus menunggu minggu depannya. Sehari sebelum rencana operasi, saya kembali menghubungi dokter dan memastikan tentang operasi. Seminggu sebelumnya saya bahkan sudah sempat survey ke RS tempat saya rencana operasi yaitu di RS Dharma Yadnya. Salah satu pertimbangan saya memilih RS itu adalah soal biaya, karena menurut informasi dari dokter urologi yang menangani saya, biaya operasi tidak ditanggung BPJS.
Hari yang ditentukan pun tiba, di kantor saya ijin namun belum menyampaikan bahwa saya sakit (akan operasi) karena takutnya jadi heboh. Nindi saya titipkan di mertua dan sebelumnya saya sudah jelaskan sama Nindi tentang rencana operasi ini, walaupun umurnya belum 6 tahun tapi dia sudah paham, bahkan hampir setiap ke dokter saya selalu mengajaknya dan menjelaskan semuanya.
Pagi sekitar pukul 09.00 kami sudah tiba di rumah sakit. Saya mendaftar dan mengatakan sudah janji dengan dokter urologi (dokter GWK). Saya pun masuk ke UGD, oleh dokter di UGD saya diperiksa dan dipersiapkan semuanya. Sempat saya merasa agak resah karena ternyata tensi saya cukup tinggi, tapi dokter mengatakan tidak terlalu masalah. Sekitar 30 menit menunggu di UGD, saya akhirnya dipindah ke kamar rawat inap sambil menunggu dokter urologi yang akan menangani operasi saya.
Sekitar 1-2 jam menunggu, saya pun diajak ke ruang operasi. Ada rasa cemas membayangkan operasinya seperti apa. Walaupun ini bukan pertama kalinya saya masuk ruang operasi namun tetap saja ada sedikit rasa takut. Dulu ketika SMP saya pernah operasi patah tulang paha, ketika itu pakai bius total. Kemudian tahun 2011 saya pernah operasi URS dan ESWL karena batu ginjal, waktu itu pakai bius setengah badan.
Saya pun masuk ruang operasi, dalam posisi tidur, tangan kiri dan kanan saya diluruskan ke samping serta dipasangkan alat (kayaknya itu untuk memantau denyut nadi). Oya sebelumnya di punggung bawah saya sudah disuntik obat bius, sepertinya ini sama seperti saya operasi URS dan ESWL dulu. Hanya dalam beberapa menit saya mulai tidak bisa menggerakkan kedua kaki saya. Kaki saya sampai ke pinggang bahkan sebagian perut mulai mati rasa, tidak bisa digerakkan. Rasanya aneh ketika disentuh.
Setelah semua persiapan operasi siap, dokter urologi pun datang. Walaupun dalam keadaan sadar penuh namun saya tidak bisa melihat proses operasi karena diatas dada/perut saya ditutupi dengan kain, hanya samar-samar melalui pantulan penutup lampu diatas saya. Pembedahan dilakukan di bawah perut kiri dan kanan, posisinya mirip seperti operasi usus buntu, bedanya ini yang dioperasi di dua tempat. Operasi varikokel yang saya jalani ternyata tidak lama, kalau tidak salah hanya sekitar 15 menit.
Luka bekas operasi saya sudah ditutup dan operasi selesai, saya kemudian diantar keluar ruang operasi, disana saya sempat berpapasan dengan dua orang yang ternyata akan menjalani operasi seperti saya. Ternyata saya tidak sendiri. Saya pun diantar kembali ke kamar. Rasanya sangat lega, tidak sakit dan saya bersyukur semua berjalan lancar. Saya bahkan senyum-senyum kepada istri saya yang sepertinya cukup cemas menunggu saya dari tadi. Oya, saya ke RS hanya berdua dengan istri.
Sebenarnya setelah operasi, saya boleh saja pulang. Tapi pihak RS menyarankan saya opname semalam karena takut tidak bisa menahan rasa nyeri. Setelah di kamar, efek bius tentu masih terasa, dari perut ke bawah masih mati rasa. Saya pun menelepon pulang dan mengabari bahwa operasi yang saya jalani berjalan lancar. Sorenya mertua saya datang menengok dan ternyata Nindi juga diajak, saya pun semakin bersemangat. Kakak dan adik saya juga datang serta paman saya.
Sebelum pukul 10 lamam Nindi dan mertua saya sudang pulang. Masih ada adik dan kakak saya, efek bius perlahan-lahan mulai hilang, perut saya khususnya dibagian bekas luka mulai terasa nyeri, sakit. Saya sempat mencoba ke toilet untuk buang air kecil, tentunya dengan dibantu oleh kakak dan adik ipar. Dengan susah payah akhirnya berhasil juga.
Mereka semua pun pulang, tinggal saya dan istri. Sakit dan nyeri yang saya rasakan semakin menjadi. Efek bius sekarang sudah benar-benar hilang. Nyeri yang saya rasakan benar-benar luar biasa! Sebenarnya saya sudah diberi obat penghilang nyeri. Karena tidak kuat, setiap dua jam istri saya menghubungi perawat. Perawat pun menambahkan obat pereda nyeri melalui infus. Dua kali perawat memberikan obat itu. Untuk ketiga kalinya, perawat tidak mau memberikan karena katanya itu sudah dosis maksimal. Perawat juga mengatakan bahwa pasien yang disebelah bahkan tidak ada mengeluh nyeri sama sekali. Saya pun jengah, ya walaupun mungkin ambang batas nyeri seseorang berbeda-beda.
Ternyata saya keliru, yang berat dalam operasi ini bukanlah ketika operasi, tapi pasca operasi. Malam sampai pagi itu benar-benar terasa sangat berat bagi saya, detik per detik saya lalui dengan rasa sakit. Rasanya satu detik berjalan seperti satu hari! Malam sampai pagi itu saya tidak tidur sama sekali. Akhirnya pagi datang juga, tapi nyeri saya tidak berkurang sama sekali.
Sekitar pukul 10.00 pagi perawat mengatakan bahwa saya boleh pulang. Sempat saya berniat untuk opname saja lagi sehari sampai sakitnya reda, saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya menahan kondisi ini dirumah. Tapi ah sudahlah, kami memutuskan pulang karena memang sudah seharusnya kami pulang. Istri saya pun menyelesaikan administrasi dan membayar semua biaya.
Dengan memakai kursi roda, saya diantar ke parkir. Tidak terbayangkan, mau masuk ke mobil rasanya sangat susah, karena bergerak sedikit saja perut saya terasa sakit luar biasa. Tapi mau tidak mau saya paksakan diri. Kami pun berangkat pulang, istri saya yang menyetir. Di perjalanan rasanya juga sangat berat, ada getaran sedikit saja rasanya sakit minta ampun. Akhirnya saya pun tiba dirumah dan langsung beristirahat. Hari itu sampai besoknya saya tetap merasakan sakit, susah diungkapkan dengan kata-kata. Yang paling berat adalah ketika mau merebahkan diri dari posisi duduk, begitu juga sebaliknya.
Keesokan harinya saya sudah mulai terbiasa walaupun sakitnya belum berkurang. Hari kedua, ketiga saya lalui dengan susah payah dirumah. Saya tidak mandi dan hanya dilap. Semua aktivitas tentu saja terganggu dan saya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur.
Beberapa hari saya tidak masuk kerja, atasan dan teman-teman pun saya kabari bahwa tidak masuk karena istirahat pasca menjalani operasi varikokel. Sebagian besar tentu tidak bisa membayangkan seperti apa operasi itu dan mengapa saya bisa operasi seperti itu. Setelah masuk kantor barulah saya ceritakan semuanya ke teman-teman. Hari pertama kembali masuk kerja, saya memutuskan mengendarai sepeda motor, biasanya saya memang menggunakan sepeda motor. Mobil kami biasanya dipakai oleh istri saya.
Pilihan saya tetap menggunakan sepeda motor adalah agar bisa lebih cepat di perjalanan tanpa banyak kena macet, dan juga agar tidak terlalu nyeri. Tapi ternyata saya salah pilih, naik motor ternyata sangat menyiksa, getaran karena naik motor jauh lebih terasa dan sangat membuat nyeri di bekas luka operasi. Tiba di kantor saya merasa sangat lelah karena menahan sakit sejauh 27 KM. Berjalan pun masih sangat hati-hati dan pelan karena bergetar sedikit saja di perut membuat sakit. Di kantor saya lebih banyak duduk. Perjalanan pulang pun jadi sangat lama karena saya harus sangat pelan-pelan. Hari kedua saya memutuskan untuk pakai mobil saja, dan rasanya jauh lebih nyaman.
Saya lupa, sekitar seminggu saya kemudian kontrol ke dokter urologi untuk mengganti. Bekas luka operasi saya sebelumnya ditutupi semacam plaster anti air dan perban. Tidak ada perlu membuka jaritan. Selesai kontrol, dokter mengatakan semuanya bagus. Saya pun pulang dengan tenang. Tapi keesokan harinya mulai muncul lebam di bagian pinggang saya, baik kiri maupun kanan, seperti ada darah mati di dalam kulit, tapi tidak ada rasa sakit. Saya pikir itu mungkin normal.
Beberapa hari kemudian, bekas luka yang di kanan membengkak dan menonjol, seperti ada cairan darah. Dan ketika di kantor, saya kaget karena ada darah yang keluar, seperti jerawat yang meletus. Saya coba seka dengan tissu tetapi tidak mau berhenti, saya pun pulang ke rumah. Sampai dirumah darah itu tetap tidak mau berhenti, hingga sore itu akhirnya saya memutuskan kembali kontrol ke dokter urologi. Setelah diperiksa oleh dokter, katanya tidak apa-apa, darah itu memang harus keluar. Yang membuat sedikit ngeri adalah dokter langsung memakai sarung tangan dan memeras semua darah itu keluar, rasanya sedikit sakit. Dokter kemudian memberikan obat oles. Setelah lukanya pun membaik dan mulai sembuh, termasuk yang kiri juga.
Satu lagi masalah muncul, penis saya kemudian ikut lebam dan agak membesar dari ukuran aslinya, hehe. Meskipun dugaan saya lebam itu akan hilang setelah beberapa hari, tapi karena posisinya di penis, saya pun khawatir juga. Saya pun sampaikan ke dokter urologi (dokter GWK) tentang permasalahan saya via sms. Oya, dokter ini sangat tanggap dalam merespon saya, mungkin juga pasien lainnya. Oleh dokter saya pun diminta datang ke RS Surya Husada, salah satu tempat prakteknnya. Saya diminta datang pukul 10 malam.
Sekitar pukul 21.30 saya sudah di RS, saya kemudian menghubungi dokter dan menanyakan saya harus kemana, karena hati itu dokter GWK tidak praktek disana, apakah saya harus ke poli atau ke UGD. Sekitar 15 menit saya tidak mendapatkan respon, dokter pun membalas sms saya. Saya diminta ke UGD, katanya beliau baru mendarat di bandara dan segera datang ke RS. Wow, saya sangat salut dan berterima kasih kepada dokter GWK karena pelayanannya melebihi harapan saya.
Saya kemudian mendaftar dan menunggu di UGD, sementara istri saya menunggu diluar. Beberapa perawat pun memeriksa penis saya, saya mengatakan bahwa saya beberapa hari lalu operasi varikokel, dan diminta menunggu di UGD oleh dokter GWK. Salah satu perawat perempuan pun bercerita singkat kepada saya bahwa dulu suaminya juga menjalani operasi varikokel dan sekarang dia sudah memiliki dua anak. Saya pun merasa optimis. Singkat cerita, dokter urologi datang dan memeriksa saya. Tidak sampai satu menit, dokternya bilang tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Oya, ketika kontrol sebelumnya dokter kembali memberikan saya obat (Torrex) dan diminum sekali sehari. Dokter mengatakan seharusnya hasil operasi akan terlihat sekitar 6 bulan kemudian. Sampai disini, semua masalah operasi yang saya jalani sudah selesai. Luka operasi saya berangsur sembuh, dan kalau tidak salah sekitar 1 bulan setelah operasi saya sudah beraktivitas dengan normal termasuk bisa main bulutangkis lagi.
Tapi, ternyata ada satu kejutan besar yang kami alami..
Ternyata ada satu kejutan besar untuk kami. Mungkin Tuhan sudah mengatur semuanya untuk kami. Istri saya ternyata hamil…..!!!! Jadi sebelum menjalani operasi, kami tetap berhubungan seperti biasa, tentunya berusaha di masa subur. Saya juga tetap minum obat yang diberikan oleh dokter. Seperti cerita sebelumnya, saya kemudian menjalani operasi.
Hari ketiga pasca operasi, saat kondisi saya masih sakit, belum bisa berjalan dengan baik, bahkan untuk rebahan dan bangun saja rasanya masih sakit luar biasa. Jadi saat itu saya masih perlu bantuan dan tentunya perhatian dari istri. Tapi sore itu, ketika saya minta tolong dikupasin buah, istri saya malah seperti enggan, katanya dia merasa sangat lelah dan lemas. Saya sempat merasa sedikit kesal, padahal istri saya melakukan pekerjaan berat dan juga kondisi saya masih seperti itu tetapi dia malah seperti tidak memperhatikan saya sore itu. Untunglah saya kami tidak sampai bertengkar. Di sekitar hari itu istri saya juga mengatakan sangat ingin makan di Pizza Hut, tumben. Keesokan harinya kami pun makan di Pizza Hut.
Istri saya pun sudah terlambat datang bulan sekitar 5 hari, tapi kami sama sekali tidak berpikiran bahwa dia hamil. Karena sebelumnya sudah pernah terlambat sampai 7 hari tapi ternyata tidak hamil. Jadi kami pasrah saja, apalagi saya baru saja menjalani operasi Varikokel. Jadi sekali lagi, kami sama sekali tidak kepikiran tentang hamil. Sampai akhirnya, tanda-tanda terlambat datang bulan semakin nyata. Kalau tidak salah istri saya sudah terlambat 8 hari. Saya tetap tidak mengijinkan dia melakukan tes, karena takut kecewa seperti bulan-bulan sebelumnya.
Suatu sore, kalau tidak salah hari ke 8 atau ke 9, tanpa sepengetahuan saya, istri saya membeli tes pack untuk memeriksa. Dia tes sendiri dirumah, yang tahu cuma anak saya, Nindi. Hasilnya ternyata positif!!! Dia kemudian menelepon saya, dan saya hampir menangis tidak percaya. Tuhan memberikan kami anugerah ini kembali. Tapi kami belum yakin 100% dan tetap bersiap untuk kemungkinan terburuk, kami kemudian ke dokter yang dekat rumah di tempat istri saya bekerja. Ya, memang istri saya sudah hamil. Luar biasa, saya benar-benar bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kami. Perjalanan yang berliku dan cukup melelahkan bagi kami.
Melalui tulisan ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua dokter, khususnya dokter kandungan dan dokter urologi yang telah membantu kami sejauh ini. Juga terima kasih kepada semua kerabat dan teman atas semua doa dan dukungan yang diberikan kepada kami. Termasuk dokter IMCW yang memberikan jalan ketika saya merasa sudah hampir tersesat.
Sekali lagi, terima kasih semuanya…
Saat menulis ini, umur kehamilan istri saya sudah hampir 8 bulan. Sejauh ini semua lancar, menurut dokter kandungan kondisi istri dan janinnya sehat serta bagus, hasil pemeriksaan dokter jenis kelaminnya laki-laki. Kami selalu berdoa semoga semua baik-baik saja.
Terima kasih tuhan..