Tradisi Memunjung di Hari Raya Galungan merupakan sebuah tradisi yang ada di daerah saya di Bali. Disebut “memunjung” karena sesajen yang dibawa disebut “punjung” walau di tempat lainnya ada juga yang menyebut “soda” atau “sodan” yang maknanya sama yaitu sebuah persembahan. Tradisi memunjung di hari raya Galungan ini adalah tradisi dari seseorang yang telah menikah keluar untuk membawa persembahan berupa “punjung” ke rumah “bajang”nya.
Dalam tradisi memunjung ini, yang membuat “punjung” atau “sodan” adalah anak yang telah menikah keluar dan akan dibawa ke rumah orang tua asalnya, orang tua dimana sang anak sudah tidak serumah lagi. Misalnya oleh seorang perempuan yang sudah menikah keluar seperti istri saya. Jadi setiap hari raya Galungan istri saya akan membuat “punjung” untuk dibawa ke rumah mertua saya. Begitu juga Ibu saya akan membuat “punjung” untuk dibawa ke rumah asalnya (rumah nenek saya).
Uniknya dalam tradisi memunjung ini akan dijalankan secara terus menerus walau orang tua atau sang anak sudah tidak ada lagi. Tradisi akan dilanjutkan dan diteruskan oleh anak cucunya. Contohnya, Ibu saya masih terus membuat dan membawa “punjung” ke rumah asal nenek saya. Padahal nenek saya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, apalagi orang tua nenek saya. Dan mungkin suatu saat nanti, ketika Ibu saya sudah tiada, maka saya dan istri akan meneruskan membawa “punjung” ke rumah asal nenek saya dan rumah asal Ibu saya. Begitu seterusnya, selama kita mampu melaksanakannya.
Apa hikmah dan makna di balik Tradisi Memunjung ini? Tentu saja silahturahmi. Saya sangat kagum dengan para leluhur yang membuat tradisi ini. Manfaat nyata yang saya rasakan dan mungkin juga orang Bali lainnya, di Bali ikatan kekeluargaan sangat dekat dan kental. Hubungan keluarga tetap terjalin meskipun sudah sekian generasi. Salah satunya berkat Tradisi Memunjung ini.