
Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar tentang Hari Raya Nyepi? Ogoh-ogoh mungkin salah satunya. Ya ogoh-ogoh memang sudah sangat identik dengan perayaan hari raya Nyepi khususnya di Bali.
Hari raya Nyepi adalah perayaan tahun baru Saka yaitu tahun yang digunakan dalam agama Hindu. Hari raya Nyepi menjadi khas karena pelaksanaannya yang unik, sesuai dengan kata dasarnya yaitu “sepi”. Umat Hindu memang “merayakan” tahun baru mereka dengan “sepi”.
Dalam pelaksaan hari raya Nyepi dikenal ajaran Catur Brata Penyepian yaitu : Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelanguan. Amati Geni artinya tidak menggunakan cahaya, Amati Karya artinya tidak bekerja / beraktifitas, Amati Lelungan artinya tidak bepergian, Amati Lelanguan artinya tidak berfoya-foya. Ajaran inilah yang penerapannya membuat suasana hari raya menjadi “sepi”.
Namun sebenarnya rentetan atau susunan pelaksanaan hari raya tidak hanya pada saat Nyepi itu sendiri. Urutan hari raya Nyepi adalah diawali dengan Melasti yaitu sekitar 3 atau 4 hari sebelum Nyepi. Lalu kemudian upacara Tawur Agung yaitu sehari menjelang Nyepi, malamnya disebut dengan Pengerupukan. Kemudian hari raya Nyepi selama 1 hari penuh (24 jam) dan keesokan harinya disebut dengan Ngembak Geni.
Nah, pada upacara Tawur Agung itu, sorenya harinya biasanya di setiap tempat di Bali terdapat pawai ogoh-ogoh. Kegiatan pawai ogoh-ogoh inilah yang menjadi ciri khas tersendiri dalam pelaksanaan hari raya Nyepi di Bali. Kegiatan dikenal dengan Pengerupukan. Apa itu ogoh-ogoh?
Ogoh-ogoh berasal dari kata bahasa Bali “ogah-ogah” yang artinya bergoyang-goyang. Ogoh-ogoh adalah sebuah benda besar yang dibuat menyerupai raksasa, binatang atau apapun yang menyeramkan. Ogoh-ogoh awalnya dibuat sebagai simbol “bhuta kala” yaitu kekuatan negatif. Kekuatan negatif ini akan di netralisir dalam upacara Tawur Agung.
Ogoh-ogoh sendiri mulai dikenal di Bali sekitar tahun 1983. Pada saat ini masyarakat Hindu khususnya di Bali membuat ogoh-ogoh sebagai apresiasi atas diakuinya hari raya Nyepi sebagai hari libur nasional di Indonesia, sehingga masyarakat Bali yang beragama Hindu bisa melaksanakan Nyepi sesuai ajaran agama Hindu. Sejak itu setiap malam sebelum Nyepi, masyarakat Hindu di Bali mengarak ogoh-ogoh keliling daerah mereka masing-masing.
Pada awalnya, ogoh-ogoh dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti kayu sebagai tulangnya, anyaman bambu untuk membentuk dan kertas sebagai pembungkus. Ogoh-ogoh pada jaman dulu tidak sebagus saat ini walaupun tidak mengurangi penampilan “seramnya”. Pembuatan ogoh-ogoh dulu pun membutuhkan waktu yang relatif lebih lama daripada saat ini.
Jaman semakin berkembang, beberapa tahun terakhir pembuatan ogoh-ogoh mulai ikut berubah. Salah satunya adalah dari segi bahan yang digunakan. Setelah penggunaan kayu dan anyaman bambu, masyarakat mulai mencoba menggunakan kawan dan besi. Dan terakhir saat ini yang paling banyak digunakan untuk pembuatan ogoh-ogoh adalah styrofoam atau di Bali dikenal juga dengan “gabus”.
Dengan menggunakan styrofoam, pembuatan ogoh-ogoh memang lebih mudah. Pembentukannya pun menjadi lebih bagus, lebih detail dan lebih praktis. Namun dari segi biaya mungkin jatuhnya lebih mahal dibanding dengan menggunakan bahan kayu dan bambu seperti jaman dulu.
Karena perubahan bahan ini juga, ogoh-ogoh jaman sekarang tidak lagi dibakar seperti dulu. Kalau dulu, di malam Pengerupukan, setelah selesai diarak, ogoh-ogoh akan langsung dibakar sebagai simbol musnahnya kekuatan negatif. Kalau sekarang, ogoh-ogoh tidak dibakar, namun tetap dipajang. Bahkan ada yang dipakai lagi pada tahun selanjutnya. Entah karena apa, mungkin karena sayang melihat ogoh-ogoh yang bagus itu dibakar atau mungkin sayang dengan biaya yang dikeluarkan lalu dibakar begitu saja.
Begitulah perkembangan ogoh-ogoh dulu dan sekarang. Yang perlu sedikit dipikirkan sekarang adalah bahan styrofoam yang digunakan membuat ogoh-ogoh jaman sekarang. Saya tidak terlalu mengerti, namun konon bahan ini kurang ramah lingkungan. Berbeda dengan menggunakan kayu dan bambu. Mungkin tahun-tahun ke depan, mulai akan ada kampanye “Ogoh-Ogoh Ramah Lingkungan”.
Haha. Kalo aku liatnya sih lucu bukan serem. Itu patung giginya kedepan kayak omas. Hehehe
kok bias lucu gitu ya bentuknya.. iya gimana dengan penggunan streo form ya.. sulit di digest sama bumi.. semoga di carikan bahan lain ya…
Belum pernah lihat ogoh-ogoh secara live Bli.
Yeah, menurut saya sih sebaiknya ogoh-ogoh dibuat seperti pada awalnya, dari bahan-bahan alami yang ada disekitarnya.
Wah…ogoh-ogohnya porno ya.
Membuat ogoh-ogoh sekarang butuh dana yang besar bisa menghabiskan berapa juta tuh bikin ogoh-ogoh sebagus itu?
Porno? Entahlah, tergantung siapa yang melihatnya. Yang ini sekitar 7-8 juta.
Menarik, Bli! Saya bayangkan kalo ogoh2 yang difoto atas itu tampil di daerah yang banyak kaum radikalnya bisa dilarang tampil ya :)
Hidup Bali!
Haha, untungnya disini di Bali masih “bebas”.
Hmm.. Kok saya merasa kurang nyaman ya, belum terbiasa melihat ogoh-ogoh seperti ini..
Mohon maaf kalau kurang nyaman.
saya suka sekali dengan ogoh-ogoh… ketagihan, hehehe. saya juga menulis ttg ogoh-ogoh, tentu dari kacamata orang luar.
http://cerita-ubud.blogspot.com/2013/03/heboh-ogoh-ogoh.html